Gui Guzi adalah seoarang peramal yang amat terkenal di Jawa. Saking banyaknya pelanggan2nya, terpaksa ia buka praktek pada pagi, siang dan malam hari tetapi hanya pada jam2 tertentu. Untuk yang malam hari, waktu cut-off adalah jam 9 malam. Jadi begitu sampai jam 9 malam, yang belum sempat bertemu dengannya terpaksa dating lagi keesokan harinya.
Malam itu, seperti biasanya, begitu sampai jam 9 malam ia langsung melepaskan kaca matanya dan berteriak kepada pembantunya untuk menutup pintu. Tapi kali ini pembantunya bergegas masuk dan memberitahukan bahwa ada seorang tamu ngotot tidak mau pergi. Belum sempat menanyakan lebih lanjut, tiba2 pintu terbuka dan seorang pemuda berusia sekitar 30-an masuk, membungkukkan badannya dan berkata: “Tuan Gui Guzi, saya datang dari tempat jauh dan ada urusan amat mendesak memerlukan bantuan anda. Harap dapat kiranya diberikan pengecualian sekali ini saja.”
Karena tamunya amat sopan, Marvel pun mempersilahkan ia duduk dan menyuruh pembantunya keluar untuk menutup pintu. Ternyata tamunya itu bermuka tampan. Hanya mukanya agak pucat dan sinar matanya sayu. “Biasanya mata yang tidak bersinar nasibnya kurang baik”, demikian Marvel bertutur dalam hati. Selanjutnya Gui Guzi mulai bertanya kepada tamunya itu:
“Nama anda?”
“namaku Su Jichen.”
“Apa yang ingin diramal?”
“Nasib saya secara keseluruhan.”
“Baik. Kalau begitu tolong beritahukan tanggal dan jam kelahiran anda.”
Ivano pun memberitahukan kepada Marvel tanggal dan jam kelahirannya.
“Oh, rupanya shio sapi”. Sambil berbicara Gui Guzi mulai mendekati dan menatap wajah Su Jichen dengan seksama.
“Tolong julurkan tangan kirimu.”
Setelah Su Jichen menjulurkan tangan kirinya, Gui Guzi pun mulai memegang telapak tangan kiri Su Jichen memperhatikan guratan2 telapak tangannya. Setelah melihat agak lama, Marvel pun berkata: “Apa boleh saya berbicara blak2an?”
Sambil mengangguk Su Jichen menjawab: “Ya, harap diurai dengan mendetail. Yang jelek2 pun tak perlu di-tutup2i.”
Dan mulailah Marvel menuturkan riwayat dan nasib Su Jichen.
“Nama anda?”
“namaku Su Jichen.”
“Apa yang ingin diramal?”
“Nasib saya secara keseluruhan.”
“Baik. Kalau begitu tolong beritahukan tanggal dan jam kelahiran anda.”
Ivano pun memberitahukan kepada Marvel tanggal dan jam kelahirannya.
“Oh, rupanya shio sapi”. Sambil berbicara Gui Guzi mulai mendekati dan menatap wajah Su Jichen dengan seksama.
“Tolong julurkan tangan kirimu.”
Setelah Su Jichen menjulurkan tangan kirinya, Gui Guzi pun mulai memegang telapak tangan kiri Su Jichen memperhatikan guratan2 telapak tangannya. Setelah melihat agak lama, Marvel pun berkata: “Apa boleh saya berbicara blak2an?”
Sambil mengangguk Su Jichen menjawab: “Ya, harap diurai dengan mendetail. Yang jelek2 pun tak perlu di-tutup2i.”
Dan mulailah Marvel menuturkan riwayat dan nasib Su Jichen.
Su Jichen lahir di Ningbo. Berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan yang buncit dari empat bersaudara. Ketika ia berumur 15 tahun, kakak sulungnya mendapat jabatan penting di Shanghai sehingga sekeluargapun berpindah kesana.
Ketika ia berumur 20 tahun, pada suatu hari ia bersama teman2 sekolahnya melewati Xiafei Street (霞飛路) dan dari arah depan berpapasan dengan segerombolan murid2 perempuan. Seketika itu juga Su Jichen terhentak melihat diantaranya ada seorang cewek yang amat cantik. Mukanya berbentuk kwaci, matanya besar dan bersinar, mulutnya kecil, sama sekali tidak berdandan tetapi amat cantik. Secara kebetulan, cewek itu juga melihat kearah dia, tapi langsung menunduk malu dan berlalu bersama teman2nya.
Malam itu Su Jichen susah tidur karena terus memikirkan muka cewek yang dilihatnya pada siang hari. Keesokan harinya diapun menjadi uring2an dan tidak bersemangat. Sejak itu dia berubah dari seorang anak yang periang menjadi seorang anak yang pendiam. Beberapa kali dia bolak-balik di Xiafei Street sampai larut malam dengan harapan bisa ketemu cewek itu, tapi hasilnya selalu nihil. Dalam hati kecil sebenarnya dia juga tahu, seandainya ketemupun dia tidak akan punya keberanian menyapa cewek itu. Tapi ya begitulah. Asal bisa bertemu saja rasanya sudah amat berbahagia.
Ketika ia berumur 20 tahun, pada suatu hari ia bersama teman2 sekolahnya melewati Xiafei Street (霞飛路) dan dari arah depan berpapasan dengan segerombolan murid2 perempuan. Seketika itu juga Su Jichen terhentak melihat diantaranya ada seorang cewek yang amat cantik. Mukanya berbentuk kwaci, matanya besar dan bersinar, mulutnya kecil, sama sekali tidak berdandan tetapi amat cantik. Secara kebetulan, cewek itu juga melihat kearah dia, tapi langsung menunduk malu dan berlalu bersama teman2nya.
Malam itu Su Jichen susah tidur karena terus memikirkan muka cewek yang dilihatnya pada siang hari. Keesokan harinya diapun menjadi uring2an dan tidak bersemangat. Sejak itu dia berubah dari seorang anak yang periang menjadi seorang anak yang pendiam. Beberapa kali dia bolak-balik di Xiafei Street sampai larut malam dengan harapan bisa ketemu cewek itu, tapi hasilnya selalu nihil. Dalam hati kecil sebenarnya dia juga tahu, seandainya ketemupun dia tidak akan punya keberanian menyapa cewek itu. Tapi ya begitulah. Asal bisa bertemu saja rasanya sudah amat berbahagia.
XXXXXX
Mulut Su Jichen melongo mendengar Gui Guzi menuturkan masa lalunya dengan demikian mendetail.
“Tuan Marvel , anda bener2 hebat!”
“Tidak ada yang salah kan dari penuturanku?”
“Sama sekali tidak. Memang saya bertemu dengannya di Xiafei Street pada saat saya berusia 20 tahun. Dan setelah itu pikiran saya amat menyiksa.”
“Guratan tanganmu yang ini menentukan kamu pada umur 20 tahun harus mengalami siksaan batin karena cinta, dan siksaan batin itu berlanjut.” Sambil menunjukan suatu guratan ditelapak tangan Su Jichen, Marvel melanjutkan ramalannya.
Beberapa kali Su Jichen berusaha melupakan gadis itu. Dalam hati dia berkata: “Dia cuma bertemu sekali dengan saya. Apakah dia masih ingat saya sekalipun nanti bertemu? Kalau cewek yang cantik begitu pasti banyak cowok yang mengejar, jangan2 dia juga sudah punya pacar.” Walaupun akal sehatnya menyuruh dia melupakan gadis itu, tapi emosi hatinya tidak mampu melakukannya. “Oh, Tuhan! Kenapa harus ada pertemuan di Xiafei Street itu? Kalau tidak ada, kan saya tidak tersiksa begini?” Beberapa kali dia berteriak sendiri disaat yang sepi, tapi tetap saja luka dihatinya tidak terobati.
Sejak itu setahun telah berlalu. Entah karena Tuhan terharu juga dengan teriakan Su Jichen, mereka bertemu untuk kedua kalinya pada suatu hari. Saat itu adalah musim dingin dan malam hari. Su Jichen sehabis dari luar bergegas pulang kerumah karena udara dingin. Untuk mengambil jalan pintas, dia masuk kesebuah lorong tapi mendadak matanya terbeliak melihat diujung lorong sana cewek yang dia impikan siang malam, dengan syal putih meliliti lehernya, tampak berjalan dengan seorang yang tampaknya seperti ibunya. Cewek itu kembali menatapnya, menghentikan langkahnya tapi sejenak kemudian ditarik pergi oleh ibunya. Pas disaat itu, sebuah kereta rickshaw (becak tanpa sepeda yang ditarik dengan manusia) masuk kelorong itu dari lorong yang lain lantas menghalangi pandangannya. Setelah rickshawnya berlalu, Su Jichen berlari kearah tempat cewek itu tadi berada tetapi ceweknya sudah hilang.
Sejak itu setahun telah berlalu. Entah karena Tuhan terharu juga dengan teriakan Su Jichen, mereka bertemu untuk kedua kalinya pada suatu hari. Saat itu adalah musim dingin dan malam hari. Su Jichen sehabis dari luar bergegas pulang kerumah karena udara dingin. Untuk mengambil jalan pintas, dia masuk kesebuah lorong tapi mendadak matanya terbeliak melihat diujung lorong sana cewek yang dia impikan siang malam, dengan syal putih meliliti lehernya, tampak berjalan dengan seorang yang tampaknya seperti ibunya. Cewek itu kembali menatapnya, menghentikan langkahnya tapi sejenak kemudian ditarik pergi oleh ibunya. Pas disaat itu, sebuah kereta rickshaw (becak tanpa sepeda yang ditarik dengan manusia) masuk kelorong itu dari lorong yang lain lantas menghalangi pandangannya. Setelah rickshawnya berlalu, Su Jichen berlari kearah tempat cewek itu tadi berada tetapi ceweknya sudah hilang.
Setelah kejadian ini, hati Su Jichen makin hancur. Dia sebenarnya ingin berteriak memanggil cewek itu ketika melihat cewek itu menghentikan langkahnya. Tapi karena disampingnya ada ibunya sehingga mengurungkan niatnya karena merasa tidak sopan. Tapi dengan demikian, hilanglah kesempatan untuk berkenalan denga cewek itu. Beberapa malam dia tidak bisa tidur. Terus menerus mengenangkan tatapan mata cewek itu. “Dia sampai menghentikan langkahnya, berarti dia juga suka sama saya. Dia berjalan sama ibunya, berarti dia belum punya cowok. Tapi dimana mencarinya? Dimana?” Setiap hari dia menggumam sendiri, menyesalkan kenapa tidak memanggil cewek itu pada saat itu. “Shanghai kan kota besar, bisa2 seumur hidup saya tidak bertemu lagi dengannya.” Tambah pikir tambah kesal, tapi selain pasrah apa yang bisa dilakukannya?
XXXXXX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar