Suami Khezia tewas dalam kecelakaan mobil tahun lalu.
Rico, yang baru berumur lima puluh dua tahun, sedang mengemudikan mobil ke rumah, dari kantornya.
Yang menabraknya adalah seorang remaja yang mabuk
berat.
Rico tewas seketika.
Remaja itu masuk ruang gawat darurat, namun tidak sampai dua jam di sana.
Ironisnya lagi, hari itu hari ulang tahun Khezia yang
kelima puluh, dan Rico sudah membeli dua tiket pesawat ke Hawaii.
Ia ingin memberi kejutan untuk istrinya.
Tapi ia justru tewas gara-gara seorang pengemudi mabuk. "Bagaimana kau bisa mengatasi itu?" tanyaku pada
Khezia, setahun kemudian.
Mata Khezia basah oleh air mata. Kupikir aku sudah salah bicara, tapi dengan lembut ia meraih tanganku dan berkata,
Tidak apa-apa. Aku ingin menceritakan padamu.
Ketika aku dan Rico menikah, aku berjanji bahwa setiap pagi, sebelum dia berangkat, aku mesti mengatakan bahwa
aku mencintainya.
Dia juga membuat janji yang sama. Akhirnya hal itu
menjadi semacam gurauan di antara kami.
Ketika anak-anak mulai lahir, sulit untuk menepati
janji itu.
Aku ingat aku suka lai ke mobilnya sambil berkata, 'Aku
mencintaimu', dengan gigi terkatup rapat kalau aku sedang marah.
Kadang aku mengemudi ke kantornya untuk menaruh catatan kecil di mobilnya.
Hal itu menjadi tantangan yang lucu.
Banyak kenangan kami tentang kebiasaan mengucapkan cinta ini setiap hari, sepanjang kehidupan
perkawinan kami.
Pada pagi Rico meninggal, ia menaruh kartu ulang tahun di dapur, lalu pergi diam-diam ke mobilnya.
Kudengar mesin mobilnya dinyalakan.
Jangan coba-coba kabur, ya, pikirku.
Aku lari dan menggedor jendela mobilnya, sampai ia membukanya.
"'Hari ini, pada ulang tahunku yang kelima puluh,
Bapak Ranggamone larico, aku, Khezia Kirana, ingin menyatakan bahwa aku mencintaimu.'”
Karena itulah aku bisa tabah menghadapi peristiwa itu.
Karena aku tahu bahwa kata-kata terakhir yang kuucapkan pada Rico adalah 'Aku mencintaimu’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar